Senin, 29 Agustus 2011
Maafkanlah
Maafkanlah
Oleh Dr Abdul Mannan
Dengan takbir dan tahmid, umat Islam melepaskan bulan Ramadhan dan dengan takbir dan tahmid pula kaum Muslim menyambut 1 Syawal 1432 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadhan dan penyambutan bulan Syawal benar-benar menjadikan kita sebagai pemenang sejati dengan berhasil menjadi insan muttaqin.
Idul Fitri adalah hari kemenangan besar yang mengembalikan manusia pada fitrahnya. Jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah dan saling memaafkan, serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat. Idul Fitri merupakan momentum bagi umat Islam untuk memulai langkah pertama menuju kehidupan lebih baik setelah sebulan ditempa dan dibina di bulan suci Ramadhan.
Ibarat seorang pelayar, kita akan bergegas mengarungi samudra selama sebelas bulan ke depan. Jika berhasil dalam masa pembinaan Ramadhan, insya Allah kebahagiaan akan menyertai kehidupan kita semua.
Oleh karena itu, saatnya telah tiba bagi kita untuk saling maaf memaafkan. Meminta maaf kepada keluarga, kaum kerabat dan famili, teman, tetangga, dan kenalan kita dari kejahatan, kesalahan, serta perbuatan zalim yang pernah kita lakukan terhadap mereka agar jiwa kita benar-benar terbebas dari dosa kepada Allah SWT dan kesalahan kepada sesama manusia.
Apabila kita telah benar-benar berhasil membersihakan jiwa dengan suka dan ikhlas dalam maaf memaafkan, insya Allah kesucian lahir batin akan tetap terjaga sehingga kita bisa menjadi insan yang berakhlakul karimah.
Islam sangat memperhatikan masalah muamalah terhadap sesama Muslim. Maaf memaafkan merupakan perintah utama dan teladan Nabi SAW yang mesti kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (QS 7: 199).
Dalam riwayat al-Thabari, Rasulullah SAW meminta penjelasan kepada Jibril tentang ayat tersebut dan dikatakan bahwa hal itu merupakan perintah kepada Rasul SAW (dan semua umatnya) untuk selalu memaafkan dan menyambungkan silaturahim. Jadi, pantas jika kemudian Rasulullah SAW tampil sebagai manusia yang suci hatinya karena selalu memaafkan orang yang berbuat aniaya padanya.
Sejarah mencatat, tatkala hendak menuju Ka'bah, selalu ada orang kafir yang meludahi Beliau. Hal itu terjadi berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Rasulullah tetap tabah dan tidak terbetik dalam hatinya kebencian, kedengkian, apalagi membalasnya.
Suatu ketika sang peludah tak lagi melakukan hal itu pada Rasulullah. Rasul pun heran, lalu Beliau mencari informasi di mana gerangan peludah itu berada. Ternyata, sang peludah itu sedang sakit dan Beliau pun bergegas menjenguknya. "Apa yang terjadi wahai saudaraku?" tanya Nabi. "Apa yang bisa kubantu buatmu agar bisa meringankan beban sakitmu ini saudaraku?"
Mendengar ucapan Rasulullah, seketika sang peludah pun berlinang air mata menyesali apa yang telah dilakukan terhadap manusia agung pilihan Allah itu. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan diri sebagai Muslim. Demikianlah nabi kita. Kesucian diri dan hatinya patut kita teladani. Pepatah Arab menyatakan: "Bukanlah termasuk kebiasaan orang mulia sifat suka mendendam. Dan, bukanlah tanda kemuliaan sifat suka menyia-nyiakan nikmat. Wallahu a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar